Sabtu, 05 Oktober 2013

ANGKRINGAN DALAM TINJAUAN ANTROPOLOGI



BERWISATA ANGKRINGAN JOGJA dengan Tema : NGOPI SAK MODARE
di warung warung ANGKRINGAN yang ada di Jogja lebih kurang sejumlah 45.000 warung yang terdata

Sedangkan secara administratif, wilayah DIY berbatasan dengan Kabupaten Magelang (di sebelah barat laut), Kabupaten Klaten (di sebelah timur), Kabupaten Wonogiri (di sebelah tenggara), dan Kabupaten Purworejo (di sebelah barat).

Luas keseluruhan DIY adalah 3.185,80 km2 atau kurang dari 0,5% luas daratan Indonesia dengan ibukota Provinsi adalah Kota. Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat . Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat akan sangat sering menyaksikan dan bahkan mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat , di mana setiap tahapan kehidupan mempunyai arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tersebut. Kesenian yang dimiliki masyarakat sangatlah beragam. Dan kesenian-kesenian yang beraneka ragam tersebut terangkai indah dalam sebuah upacara adat. Sehingga bagi masyarakat , seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas di antara lain adalah ketoprak, jathilan, dan wayang kulit.

Tempat Wisata Menarik

Objek wisata yang menarik di Yogyakarta, antara lain Malioboro, Kebun Binatang Gembiraloka, Istana Air Taman Sari, Monumen Jogja Kembali, Museum Keraton , Museum Sonobudoyo, Lereng Merapi, Kaliurang, Pantai Parangtritis, Pantai Baron, Pantai Samas, Goa Selarong, Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Kraton Ratu Boko. terkenal dengan makanan yang enak, murah, bergizi sekaligus membuat kangen orang-orang yang pernah singgah atau berdomisili di kota ini. Ada angkringan dengan menu khas mahasiswa, ada bakmi godhog di Pojok Benteng, sate kelinci di Kaliurang plus jadah Mbah Carik, sate karang Kotagedhe, sego abang Njirak Gunung Kidul dan masih banyak tempat wisata kuliner yang lain. Di wilayah selatan kota , tepatnya di daerah Wonokromo, terdapat Sate Klathak.

Angkringan

Angkringan secara harafiah berasal dari bahasa Jawa yaitu ‘angkring’ yang berarti gerobak jualan yang dipanggul (angkring) atau bisa juga berarti malangkring berarti duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke kursi. Angkringan adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan. Di Solo atau Surakarta dikenal sebagai warung HIK yang merupakan kependekan dari Hidangan Istimewa Kampung. Gerobag angkringan biasa ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 8 orang pembeli. Beroperasi mulai sore hari dan mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir, dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan. Sedangkan di daerah , nama yang lebih terkenal adalah Angkringan. Selain nama tersebut diatas, dikenal juga istilah “Lesehan”. Hal ini dikarenakan para pembeli biasanya duduk diatas sebuah tikar (lesehan) sambil menikmati hidangan dengan mengobrol.

Sejarah dan Perkembangan Angkringan

Berbicara mengenai angkringan, pikiran kita akan tertuju pada adanya ketimpangan sosial khususnya kemiskinan. Sejarah angkringan ini dimulai dengan perjuangan melawan kemiskinan dari seseorang yang kurang mampu. Angkringan berasal dari Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang dimulai dari sosok Mbah Pairo yang berasal dari Cawas, Klaten. Cawa merupakan daerah tandus dan kering apalagi saat musim kemarau. Karena keadaan cuaca dan geologis seperti ini membuat daerah Cawas tidak memiliki lahan pertanian yang mampu diandalkan. Hal ini membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke Yogya. Pada tahun 1950-an, kurang lebih sekitar tahun 1957, ia mengusung dua pikulan yang disebut ‘thing thing hik’ ke Jogja dan menggelar dagangannya di emperan Stasiun Tugu. Mbah Pairo pada awal berjualannya terkenal dengan teriakan “hikk…iyekk!!!”.

Sekitar tahun 1969, Mbah Pairo mewariskan dagangannya pada Siswo Raharjo, anaknya. Siswo Raharjo biasa dipanggil dengan sebutan Lik Man. Lik Man tetap menjual dagangannya di depan Stasiun Tugu baru lima tahun kemudian pindah di Jalan Bumijo, persis di sebelah utara Stasiun Tugu. Di tangan Lik Man inilah, angkringan mencapai kesuburannya, dan menjadi bagian dari legenda kota tua Yogya. Seniman-seniman Yogya, seperti Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Emha Ainun Nadjib, Bondan Nusantara, dan Marwoto, pernah menghabiskan malam di angkringan Lik Man.

Angkringan inilah yang mengawali keberadaan angkringan di . Melihat kesuksesan angkringan inilah angkringan-angkringan yang lain mulai berdiri di Yogya. Kini tidak sulit menemukan angkringan di Yogya karena hampir di tiap ujung gang kota, bisa ditemukan angkringan. Jumlah total angkringan di Yogya diperkirakan lebih dari 1.000 buah, dengan 1.200-an pedagang, serta lebih dari 30.000 warga kampung penyuplai makanan di angkringan itu.

Menurut, salah satu informan kami yang bernama Bayu ( 24tahun) “angkringan iku salah sijine kegiatan sakben dinane wong enom nang Yogya, nek wengi. Nggone angkringan iki isok dadi obat gawe jenuh sedino kerja. Urung afdol lak kumpul-kumpul panggone gak nek kene”. Penjelasan dari informan kami artinya yakni angkringan itu salah satu kegiatan sehari-hari pemuda di Yogya, saat malam. Tempat angkringan ini bisa jadi obat untuk rasa jenuh seharian bekerja. Kurang afdol apabila kumpul-kumpulnya tidak bertempat disini (angkringan).


Kegiatan angkringan di lik Man ini, dilakukan tidak hanya oleh para pemuda, tetapi juga oleh orang-orang dewasa. Hal ini terbukti adanya informan kami pak Soimin (48 tahun). Motivasi para pengunjung pun bervariasi, mulai dari hanya sekedar berkumpul dengan teman-teman hingga datang untuk melepas lelah atau menghilangkan jenuh karena seharian beraktifitas. Angkringan bukan lagi sebagai tempat makan melainkan tempat ngangkring, tempat berbagi, sumber inspirasi, bahkan bisa juga sebagai tempat refreshing.

Motivasi lain yang cukup mengesankan dari para pengunjung di angkringan ini adalah dijadikannya angkringan sebagai tempat diskusi dan berkumpulnya orang-orang dengan berbagai kepentingannya. Di sanabermula ide-ide segar, rencana aksi demonstrasi disusun oleh para aktivis kampus, tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, diskusi politik, maupun sekadar ngobrol ngalor-ngidul atau gojeg kere (sebutan khas Yogya untuk bercanda). Angkringan adalah ruang bersama, yang merangkai komunitas dari berbagai latar belakang. Bahkan ada semboyan yang mengatakan bahwa Yogya adalahIndonesia mini, angkringan adalah Yogya mini.

Parsudi Suparlan dalam konsepsinya tentang perubahan budaya mengungkapkan bahwa perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem ide yang dimiliki oleh masyarakat yang tersangkutan mencakup hal-hal seperti nilai, selera, cipta dan rasa. Berkaitan dengan konsep tersebut dalam gambaran etik penulis, Angkringan bukan lagi milik mahasiswa atau orang-orang yang berkantong “cekak”, namun mulai jadi sebuah life style baru. Rasanya belum ke Yogya kalau belum merasakan bagaimana makan di angkringan, terlebih lagi orang Yogya merasa belum afdol sebelum ikutan “ngangkring”. Fenomena ini misalnya, bisa dilihat dari banyaknya mobil dan motor yang berjajar di depan angkringan Lek Man tiap malam. Penilaian tersebut oleh penulis berdasarkan observasi yang dilakukan secara bertahap.

Motivasi lain pengunjung dalam melakukan angkringan khususnya Angkringan Lek Man yakni sebagai tempat untuk mencari sesuatu hal yang baru, dengan maksud ingin menemukan komunitas pergaulan baru di luar komunitasnya yang belum pernah ia dijumpai sebelumnya, dan sekadar untuk mencari kesenangan semata (just for fun). Hal tersebut sesuai dengan penjelasan informan kami yang bernama Mr.George,Australia.

Ekonomis, Efisien, dan Strategis

Para pembeli di angkringan adalah para langganan dari berbagai kalangan, yaitu mahasiswa, tukang becak, wartawan, para penjaja cinta, tukang ojek, seniman, karyawan kantoran, bahkan dosen-dosen dan anggota dewan. Dilihat dari para pembeli tersebut tentu saja kita juga dapat mengetahui berbagai keunggulan yang ditawarkan oleh angkringan Lek Man.

Ekonomis

Angkringan Lek Man selain terkenal sebagai tempat favorit pemuda di Yogya juga terkenal dengan nasi kucingnya dan yang paling khas di Angkringan adalah kopi joss, yaitu kopi hitam yang dicampur dengan arang yang masih membara hingga berbunyi “joss” saat dicampuri arang. Adapun menu-menu makanan dan minuman lain yang ditawarkan Angkringan Jogja, seperti endas atau kepala ayam, teh panas atau warga sekitar menyebut dengan nasgital (panas, legit, kental) dan air jeruk hangat yang menjadi minuman nikmat khas merakyat.

Kopi Joss

Harga yang ditawarkan oleh angkringan ini juga terjangkau dan bervariasi sesuai dengan jenis kebutuhan pengunjung. Adapun klasifikasi harga kebutuhan yang ditawarkan dan terdapat di angkringan Lek Man tersebut adalah :
Sego kucing : Rp 1.000,00
Kopi joss : Rp 3.000,00
Sate usus : Rp 1.500,00
Sate telur puyuh : Rp 2.000,00
Sate ampela ati : Rp 2.000,00
Berbagai macam lauk tambahan (tempe mendoan, tempe bacem, tahu bacem, tahu susur, , dan jadah yaitu makanan dari ketan yang dipadatkan berasa gurih) : Rp 500,00
Berbagai macam gorengan : Rp 500,00
Berbagai macam makanan / gorengan yang tersedia di angkringan Lek Man

Es teh : Rp 1.500,00 Es Jeruk : Rp 2.500,00 Es Susu : Rp 3.500,00 Wedang Jahe : Rp 2.500,00
Kopi susu : Rp 3.500,00 Snack (makanan ringan) : Rp 500,00

Efisien

Dalam penjelasan tersebut sebelumnya angkringan Lek Man ini juga memudahkan konsumen dalam memenuhi kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari barang atau makanan dan minuman yang ditawarkan. Di angkringan ini konsumen dapat memilih dan mengambil langsung makanan yang sudah matang yang telah tersedia. Apabila ditemukan makanan yang sudah dingin, konsumen juga dapat meminta pengelola angkringan untuk menghangatkan kembali makanan yang sudah dipilih. Keleluasan juga diberikan kepada konsumen yakni untuk memesan terlebih dahulu dan membayarnya di saat konsumen akan beranjak pergi. Hal tersebut diutarakan oleh salah satu pengelola angkringan Lek Man yang bernama Agus (37tahun). Pengelola angkringan yang berasal dari Solo ini menjelaskan bahwa “…teng mriki mas, sampeyan iso njupuk penganan sak senenge sampeyan. Masalah bayar, iku iso dibayar ngko ngko wae pas sampeyan arep’e muleh. Sampeyan pisan iso njaluk diangetno maneh sego kucing utawa jajanane yen uwis adem…. ”

Strategis

Dilihat dari letak dan suasana, angkringan Lek Man ini cukup strategis, dapat diakses dari daerah mana pun di Yogya yaitu terletak di Jalan Bumijo. Jalan ini berada persis si sebelah utara Stasiun Tugu. Dengan demikian para penumpang kereta, apalagi saat jadwal kereta malam, mereka bisa segera melepas lelah di angkringan ini. Angkringan juga dekat dengan daerah wisata Yogya lainnya yaitu Sarkem atau Pasar Kembang, pusat perbelanjaan dan souvenir Malioboro, dan juga dengan daerah wisata budaya Keraton .

Suasana unik dan menarik juga dapat dirasakan di angkringan kota Yogyakarta, yaitu kita dapat melihat berbagai macam aktivitas masyarakat yang lalu lalang di jalan utama pusat kota dan juga pemandangan kereta api karena letaknya yang bersebelahan dengan stasiun kereta api. Lampu jalan berwarna kuning, namun tidak begitu terang juga menambah nikmat suasana untuk berkumpul bersama teman-teman. Adanya oblik, tidak dalam arti sebenarnya, juga menambah indahnya suasana di angkringan. Oblik di sini memiliki pengertian yaitu gadis-gadis SPG yang berkeliling menawarkan barang dagangannya di sekitar angkringan Lek Man. Hal tersebut juga merupakan penjelasan dari salah satu informan kami yang bernama Yudi (lulusan UGM, 25 tahun).

Salah satu minuman yang terkenal di angkringan Yogyakarta ini adalah “Kopi joss”, selain terdengar asing, cara penyajiannya pun cukup unik. Dalam penyajiannya, kopi kental ini ditambah arang ‘mowo’ alias membara, tentu bukan layaknya kopi yang biasa kita jumpai di tempat lain. Setelah dirasakan, kopi joss ini sangat nikmat. Walaupun cara penyajiannya cukup unik tapi hal ini tidak perlu ada yang ditakutkan karena arang panas yang dicampur ke dalam kopi tersebut berguna sebagai penetralisir kafein yang ada didalam kopi. Jadi bisa disimpulkan bahwa kopi joss rendah akan kandungan kafein. Manfaat kopi joss ini sudah terbukti dari penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Manfaat lain dari kopi joss tersebut adalah dapat menghangatkan badan apabila sedang meriang atau demam serta masuk angin. Hal tersebut ditemukan dalam wawancara kami dengan salah seorang informan yang sering datang ke angkringan untuk memesan kopi joss jika kondisi badannya sedang meriang atau masuk angin. Secara general melihat hal tersebut memunculkankan konsepsi dan kognisi primitif pada konsumen penikmat kopi joss yang menilai bahwa sebuah bara arang yang dimasukkan dalam segelas kopi dapat menyembuhkan penyakit yang dalam realita medisnya tidak diterangkan seperti hal tersebut.

Menurut interpretasi Levi-Strauss tentang gejala kebudayaan dalam contoh tersebut di atas menjelaskan pada proses kognitif dari masyarakat primitif, yaitu: cara-cara manusia memandang hal-hal yang ada di dunia sekitarnya dan caranya mengkategorikan, menilai, dan menggolongkan hal-hal itu.

Strategi Adaptasi

Dalam melakukan aktivitas berdagang, setiap pengelola angkringan terutama Lek Man dihadapkan oleh tekanan-tekanan kebijakan dan peraturan publik setempat. Sebagai antisipasi untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, pengelola angkringan memiliki berbagai cara tertentu. Beberapa hal yang dapat dilakukan pengelola angkringan adalah menjaga hubungan baik dengan pembelinya. Pengelola angkringan mampu menjadi teman bagi pembelinya. Hubungan semacam ini mampu memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Salah satu contoh bukti nyata hubungan yang saling menguntungkan antara kedua pihak terlihat dalam sikap dan reaksi para pembeli menyikapi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 26 Tahun 2002 tentang Penertiban Pedagang Kaki Lima, dan angkringan di sisi barat Jalan Malioboro Yogya. Dalam peraturan tersebut tertuang penjelasan yang mendiskreditkan keberadaan pedagang kakilima, yakni pengelola angkringan, karena letak dan lokasi berjualan yang berada di atas fasilitas publik yakni trotoar dan keberadaannya dianggap mengganggu pengguna jalan serta memiliki anggapan dapat memperburuk keindahan jalan. Akan tetapi advokasi yang telah dilakukan oleh lembaga dan ormas setempat dalam menjaga eksistensi pedagang kakilimadalam hal ini angkringan dengan argumen sebagai wujud pelestarian budaya. Keberadaan pedagang kakilimadapat berjualan kembali seperti biasanya.

Menurut salah satu pedagang yang menjadi informan kami, menjelaskan bahwa angkringan Lek Man ini pernah mengalami penggusuran oleh satpol PP setempat pada tanggal 12 bulan Mei tahun 2008. Selama bulan Mei itulah suasana angkringan di jalan Bumijo tersebut hilang dan jalan itupun terlihat sepi. Menurutnya saat penggusuran terjadi, pengelola angkringan yakni PK5 dan pengunjung yang tergabung dalam ormas bersatu melakukan aksi simpatik yang ditujukan kepada pemerintah daerah setempat. Kritikan yang ditujukan kepada pemerintah setempat melalui media memberikan makna yang positif bagi kembali dibukanya angkringan di beberapa lokasi di oleh pedagang kakilima.

Selang beberapa minggu kemudian, oleh Gubernur DIY yang sekaligus sebagai Sultan, mengeluarkan SK yang berbunyi Kopi Joss telah dinyatakan sebagai official beverage di kalangan Kasultanan Ndoyokarta Hadiningrat. Setelah keputusan tersebut sekitar awal bulan Juni 2008, angkringan di lokasi ini boleh kembali beroperasi seperti biasanya.

John L. Taylor menjelaskan fakta yang masuk akal mengenai daerah-daerah kediaman golongan berpenghasilan rendah di Asia Tenggara ialah mereka umumnya menunjukkan jiwa bersatu. Orang-orang rela bekerja sama untuk menanggulangi kesulitan bersama dan dalam banyak kasus telah mengorganisir diri untuk menyelamatkan rumah dan masyarakat mereka (Pasudi, 1994:135).

Dalam sektor ekonomi terutama dalam mengelola angkringannya, pengelola angkringan menggunakan sistem ekonomi gotong royong berbasis kearifan lokal, yaitu tepo-seliro, dan biso rumongso (bisa memahami perasaan orang lain). Walaupun para pedagang angkringan biasanya diorganisir oleh seorang juragan (pengelola), posisi juragan ternyata setara dengan pedagang. Juragan lebih mirip sebagai supervisi seperti dalam bisnis modern. Juragan angkringan memiliki modal cukup besar namun tak memonopoli seluruh kebutuhan dagangan anak buahnya, bahkan gerobak juga dimiliki oleh pedagang angkringan.

Juragan biasanya menyediakan barang-barang untuk minuman dan rokok. Sedangkan berbagai penganan lain disediakan oleh pemasok lain yang biasanya merupakan tetangganya di kampung. Sedikitnya, setiap angkringan disuplai oleh 15 pemasok yang tidak memiliki hubungan ekonomi secara langsung dengan juragan.

Parapedagang kecil pemasok penganan juga menerapkan konsep berbagi. Seorang pembuat nasi bungkus dengan lauk teri, tidak akan membuat jenis makanan dengan lauktempeyang telah dibuat oleh orang lain. Masing-masing punya batas, dan teritorial. Sistem ekonomi rakyat yang belum terumuskan sebagai teori ekonomi seperti ini, jelas berbeda dengan berbisnis di sebuah mal yang ketat dan keras aturan mainnya.

Kepercayaan dan keinginan untuk berbagi menjadi aturan tak tertulis dan konkret dalam bisnis angkringan. Kearifan kultural itu pula yang kemudian menyatukan juragan, penyuplai makanan, dan penjaja angkringan dalam sebuah bisnis yang saling menguntungkan. Kultur dan tatanan ini tetap mampu bertahan karena adanya kekerabatan, yaitu ikatan warga sekampung, bahkan bersaudara, dan di sisi lain kesadaran orang atau kelompok masyarakat, merupakan sebagian faktor yang menjadi kekuatan bagi pedagang angkringan untuk mampu bertahan dan saling menopang dengan siasat budaya wong cilik mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar