oleh : HIMAYO
Menjaga Tradisi Keistimewaan Budaya Melalui Sekaten
Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X keluar berjalan untuk melakukan ritual Njejak Bata di sebuah pintu sebelah selatan Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Upacara Sekaten menjadi satu tradisi yang masih terus dilestarikan oleh masyarakat Yogyakarta karena memiliki akar sejarah yang kuat.
Sekaten sejatinya berasal dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang menjadi strategi para wali dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, sehingga dapat dikatakan bahwa akar sejarah dari tradisi tersebut telah berlangsung cukup lama.
Upacara sekaten telah melalui berbagai transformasi, namun tradisi tersebut telah menjadi peristiwa budaya yang turut menentukan keistimewaan Yogyakarta.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X bahkan mengatakan sekaten layak menjadi salah satu catatan dalam keistimewaan Yogyakarta.
Tema besar dalam perayaan Sekaten yaitu “Harmoni budaya, ekonomi dan religi”, lanjut Sri Sultan Hamengku Buwono X bisa menjadi pengingat akan jati diri bangsa untuk membangun Indonesia agar lebih baik.
Ketiga aspek tersebut, menjadi faktor yang saling melengkapi dalam perayaan sekaten dari tahun ke tahun, namun.
Peristiwa budaya yang dapat disaksikan secara langsung dalam perayaan Sekaten akan dimulai dengan prosesi “miyos gangsa” yaitu keluarnya gamelan milik Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bernama Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Naga Wilaga pada tanggal 5 bulan Maulud atau 9-15 Februari.
Gamelan tersebut akan diarak dari Bangsal Pancaniti ke Masjid Gedhe untuk kemudian ditabuh selama tujuh hari.
Untuk lebih menyemarakkan tradisi Sekaten, kumandang gamelan yang ditabuh tersebut akan disiarkan hingga sepanjang Malioboro sehingga akan semakin menambah nuansa budaya pada atmosfir Kota Yogyakarta pada waktu-waktu tertentu.
Puncak acara Sekaten ditandai dengan keluarnya sejumlah gunungan yang disebut sebagai Gerebeg Maulud yang pada dasarnya adalah menggambarkan sedekah raja kepada rakyatnya dan menyimbolkan kesejahteraan.
Rangkaian kegiatan budaya sekaligus akhir dari Sekaten kemudian ditandai dengan acara Bedhol Songsong atau pentas wayang kulit semalam suntuk di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pemaknaan peristiwa budaya dalam Sekaten juga coba ditampilkan melalui pendirian panggung kesenian yang menggelar beragam festival seni tradisi dan religi.
Sementara itu, rangkaian kegiatan ekonomi diwujudkan dalam bentuk pasar rakyat atau disebut pasar malam perayaan sekaten (PMPS) yang digelar selama 40 hari.
Pemerintah Kota Yogyakarta yang mengampu tugas sebagai penyelenggara Sekaten berusaha melakukan penataan agar pasar rakyat tersebut berlangsung dengan baik dan memiliki nilai jual tinggi.
Stand pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang tersebar di seluruh wilayah Kota Yogyakarta akan menjadi fasad utama di PMPS.
Pengunjung yang masuk ke arena PMPS akan langsung disuguhi beragam potensi kerajinan unggulan dari seluruh wilayah di Kota Yogyakarta.
“Ini merupakan waktu yang baik bagi seluruh pelaku UMKM di Kota Yogyakarta untuk memperkenalkan produk mereka agar dikenal masyarakat dan mendapat pasar,” kata Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Heru Pria Warjaka.
Sedangkan untuk meneguhkan kegiatan religi dalam sekaten, digelar melalui kegiatan tabligh akbar pada awal Februari yang akan menampilkan seorang ulama dari Surakarta Jawa Tengah.
“Saat diselenggarakan tabligh akbar, akan ada perlakuan khusus untuk peserta tabligh saat akan memasuki arena PMPS,” kata Ketua Panitia PMPS 2011 Yulia Rustiyaningsih.
Ingatkan jati diri
Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan apresiasi yang baik kepada Pemerintah Kota Yogyakarta karena telah mengangkat tema “harmoni budaya, ekonomi dan religi” dalam pelaksanaan Sekaten tersebut.
“Harmoni dari ketiga aspek itu juga tercermin dalam kehidupan masyarakat dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,” katanya.
Segi tiga yang terbentuk antara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat budaya, Masjid Agung sebagai pusat religi dan Pasar Beringharjo sebagai pusat ekonomi menyiratkan simbol mendalam bagaimana harmoni kehidupan masyarakat tersebut berlangsung.
“Tema itu mengingatkan masyarakat akan jati diri bangsa, untuk modal membangun bangsa yang lebih baik di masa yang akan datang,” kata Sultan Hamengku Buwono X.
Ia pun berharap, seluruh pihak yang telah lupa akan sejarah dan jati diri bangsa dapat kembali diingatkan untuk berjalan di jalur yang lurus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar